Lomba Pembuatan Video Animasi Berbasis Power Point

Pembuatan Video Animasi dalam Rangka Hut KKG PAI Provinsi Jawa Tengah

"DIRGAHAYU INDONESIAKU KE-75. Jayalah Indonesiaku"

"Sebagai bangsa yang lahir dari perjuangan, kita percaya: di setiap kesulitan, selalu ada jalan keluar dan kemudahan" Ir. Joko Widodo

Seleksi Calon Guru Penggerak

Calon Guru Penggerak

Windows 10

Trik membuat windows 10 lebih cepat bekerja

Pendidikan Karakter

Dimensi Pendidikan Karakter

Monday, October 31, 2011

Peta Pendidikan Islam Di Indonesia

Peta Pendidikan Islam Di Indonesia PDF Cetak Surel
Kamis, 29 April 2010 02:38
ShareThis
Memenuhi permintaan Panitia Konggres Umat Islam Indonesia ke-5 agar saya membuat peta pendidikan Islam di Indonesia, terasa tidak mudah. Mestinya saya harus melengkapi tulisan dengan data lengkap. Padahal itu tidak mungkin saya dapatkan dalam waktu singkat, hanya beberapa hari. Sementara tugas itu harus saya tunaikan, apa pun jadinya. Oleh karena itu, saya mencoba membuat secara singkat, apa adanya, dan bersifat kualitatif.

Sebuah peta yang memberikan petunjuk secara jelas tentang apa yang akan dikembangkan adalah sangat penting. Tanpa peta yang jelas, maka tidak akan dapat merumuskan kebijakan strategis, pembuatan rencana yang tepat, apalagi memberikan arah, dan bahkan juga prediksi-prediksi yang jelas di masa mendatang. Selain itu, tanpa peta yang jelas, maka apa yang dilakukan hanya berjalan di tempat dan tanpa arah.

Ada banyak hal yang harus dipahami tentang peta pendidikan Islam di Indonesia, terutama terkait dengan makna pendidikan Islam itu sendiri, jenis kelembagaan, orientasi pengembangan, partisipasi masyarakat, dan masih banyak lagi lainnya. Namun, dalam waktu yang singkat dan terbatas ini, saya hanya akan mengajak peserta semiloka untuk membaca peta pendidikan Islam terkait dengan aspek-aspek tersebut.

PROBLEM PEMAKNAAN PENDIDIKAN ISLAM

Seperti halnya konsep pendidikan pada umumnya, konsep-konsep kependidikan Islam pun mengalami proses perubahan, pergeseran, dan dinamika, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, rekonseptualisasi pandangan dunia Islam mengenai segala sesuatu, dan kepentingan atau kebutuhan masyarakat muslim untuk mengejawantahkan keberagamaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini, jika kita perhatikan, pengertian pendidikan Islam mengalami pemaknaan yang dinamis dari waktu ke waktu. Selain itu, masing-masing pihak memaknai pendidikan Islam secara berbeda-beda. Implikasinya, atas dasar pemahaman itu, pendidikan Islam kemudian diimplementasikan secara berbeda-beda pula. Hanya kelebihannya, tidak sebagaimana dalam perbedaan masalah-masalah fiqh (ikhtilaf), perbedaan pemahaman dan pemkanaan pendidikan Islam tidak banyak menimbulkan sengketa dan konfrontasi. Dan, apa yang dipahami mengenai pendidikan Islam, itulah yang mereka jalankan, sehingga coraknya dapat berbeda-beda, sekaligus memperkaya perspektif pendidikan Islam.

Banyaknya perbedaan dalam pemaknaan menjadikan pendidikan Islam di negeri ini sangat variatif, ditambah banyaknya antusiame masyarakat untuk berpartisipasi mengembangkannya. Menghadapi besarnya semangat partisipasi masyarakat terhadap pengembangan pendidikan Islam tersebut, pemerintah justru mengalami kesulitan membatasinya. Umpama, ketika masyarakat diberi kebebasan, maka setiap waktu akan lahir lembaga pendidikan Islam baru untuk berbagai jenjang dan di berbagai tempat.

Sayangnya, semangat membangun lembaga pendidikan Islam sebatas pada tataran kuantitatif atau eksistensial, belum pada kesadaran kualitatif dan keunggulan. Pendidikan Islam dalam kasus-kasus tertentu hanya dipahami secara terbatas, bahkan hanya pada tingkat yang bersifat simbolik. Misalnya, yang dipentingkan ”bernama atau beridentitas Islam”, tanpa mempertimbangkan tuntutan bahwa identitas itu harus dikaitkan dengan taraf kualitas yang diharapkan oleh ajaran Islam, sebagaimana sering diungkapkan bahwa Islam ya’lu wa la yu’la ’alayhi (Islam itu adalah terunggul, dan tiada yang bisa mengungguli Islam).

Ada sementara kalangan memaknai pendidikan Islam dari aspek kelembagaannya, sehingga muncul beberapa kategori lembaga pendidikan, seperti pesantren, madrasah, dan sekolah yang diberi nama-nama yang bernuansa Islam, seperti pendidikan Islam Al-Azhar, Muhammadiyah, Ma’arif, Asy-Syafiiyah, Sabilillah, Istiqlal, dan seterusnya. Ada juga yang mengartikan pendidikan Islam dari segi muatan kurikulum yang dikembangkan, yakni yang disebut sebagai pendidikan Islam manakala diajarkan mata pelajaran-mata pelajaran berkarakteritik Islam, misalnya fiqh, tawhid atau kalam, akhlak dan tasawwuf, tarikh, dan bahasa Arab.

Masih terkait dengan pengertian pendidikan, muncul apa yang disebut dengan istilah ”pendidikan agama” dan ”pendidikan umum.” Selanjutnya, ada istilah ”guru agama” dan ”guru umum.” Guru yang mengajar fiqh, tawhid atau kalam, akhlak dan tasawwuf, tarikh, dan bahasa Arab disebut sebagai ”guru agama (Islam)”. Sedangkan guru yang mengajar matematika, IPA, IPS, dan bahasa disebut sebagai ”guru umum”.

Polarisasi pelajaran agama dan pelajaran umum, lalu ”guru agama” dan ”guru umum” seperti di atas, sejatinya kurang tepat penyebutan kategori ”umum” dan ”agama”, semestinya tidak terjadi. ”Umum” sebagai lawan kata dari ”khusus,” yang secara salah kaprah dikontraskan dengan ”agama.” Namun, itulah yang terjadi, sehingga di lembaga pendidikan Islam pun dan ”guru umum” mengimplikasikan adanya ”ilmu agama” dan ”ilmu umum.” Di lembaga pendidikan Muhammadiyah terdapat pelajaran atau matakuliah al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan. Begitu pula di lembaga pendidikian Islam Ma’arif, ada pelajaran atau matakuliah Keislaman dan Aswaja.

Kategorisasi seperti itu menjadikan makna dan kelembagaan pendidikan Islam terasa sempit. Pendidikan Islam hanya dimaknai secara terbatas, yaitu hanya terkait dengan persoalan-persoalan ritual dan spiritual. Dampak selanjutnya, seolah-olah Islam pun juga menjadi sempit, dan bahkan memaknai umat Islam pun juga secara terbatas pula. Islam kemudian dianggap mundur dan bahkan kalah. Cara pandang seperti ini ternyata berdampak luas, menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial, dan aspek-aspek lain yang lebih luas.

Akhir-akhir ini, pemaknaan kembali pendidikan Islam seperti itu, apalagi dengan adanya perubahan kelembagaan beberapa PTAIN, dari Sekolah Tinggi dan Institut menjadi bentuk Universitas, akan menjadi semakin mengemuka. Polarisasi ilmu umum dan ilmu agama sudah tidak relevan lagi dan mulai digugat. Mereka menampik adanya bentuk dikotomi ilmu dalam Islam. Semua ilmu adalah berasal dari Allah, sehingga tidak semestinya dilakukan polarisasi seperti di atas, antara ilmu agama dan ilmu umum.

Konsep baru yang ditawarkan selanjutnya adalah menyangkut sumber ilmu pengetahuan. Ada ilmu pengetahuan yang digali dari sumber ayat-ayat qawliyyah dan kawuniyyah sekaligus. Sementara yang lain hanya mendasarkan ayat-ayat kawniyyah, yaitu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis. Atas pembagian itu, maka kategorisasi ilmu pengetahuan bukan lagi dari jenisnya, melainkan dari sumber yang digunakan. Ilmu pengetahuan yang bersumberkan ayat-ayat qawliyyah sekaligus ayat-ayat kawniyyah, maka disebut sebagai ilmu pengetahuan Islam. Demikian pula lembaga penyelenggaranya disebut sebagai lembaga pendidikan Islam.

Perkembangan pemikiran seperti itu juga didasarkan pada rujukan yang kuat. Misalnya, al-Qur’an sendiri selalu disebut sebagai Kitab Suci yang bersifat universal. Maka, universalitasnya harus tercemin dalam isi kajian pendidikan Islam. Al-Qur’an dan Hadits tidak saja berisi petunjuk tentang bagaimana kaum muslimin melakukan penyembahan dan kegiatan ritual, apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh penganutnya, melainkan juga berisi tentang petunjuk (hudân), penjelas (bayân), dan pembeda (furqân) tentang alam semesta ini. Al-Qur’an juga memberikan penjelasan tentang alam dan manusia diciptakan, manusia dan perilakunya, isi jagat raya ini dan juga petunjuk tentang keselamatan.

Pengertian yang dinamis tentang Islam seperti itu juga berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pendidikan, baik menyangkut tujuan, orientasi, kurikulum, dan bahkan juga format kelembagaannya. Semangat beberapa lembaga pendidikan Islam, semisal STAIN dan IAIN berubah bentuk menjadi universitas, sesungguhnya tidak lepas dari dinamika pemahaman tentang Islam selama ini. Gejala seperti itu merupakan proses yang sangat menggembirakan dan menguntungkan bagi umat Islam ke depan.

KERAGAMAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM: PERLUNYA REGULASI

Variasi pendidikan Islam tidak saja terkait dengan isi atau kurikulum yang dikembangkan, melainkan juga menyangkut kelembagaannya. Lembaga pendidikan Islam sangat variatif, yaitu ada pesantren, diniyah, madrasah, dan sekolah dengan berbagai jenjang, mulai dari Raudatul Athfal atau Taman Kanak-kanak (RA/TK), Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar (MI/SD), Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama (MTs./SMP), Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas (MA/SMA), hingga Perguruan Tinggi. Berbagai jenis dan jenjang pendidikan Islam itu sebagian berstatus negeri dan sebagian lainnya berstatus swasta. Menurut informasi yang sering disampaikan oleh Kementerian Agama RI, bahwa lembaga pendidikan Islam di lingkungan Kementerian Agama hanya sekitar 8 % berstatus negeri, sedangkan lainnya berstatus swasta. Bahkan pesantren, 100 % dirintis dan dikelola oleh masyarakat, artinya seluruhnya berstatus swasta.

Hal yang menggembirakan, sekaligus juga jika tidak dikelola secara tepat akan sangat membebani adalah bahwa secara kuantitatif pertumbuhan lembaga pendidikan swasta selalu meningkat lebih cepat cepat. Semangat berpartisipasi atau mendirikan lembaga pendidikan di kalangan swasta sangat tinggi. Justru yang dirasakan berat bagi pemerintah, bukan mendorong partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan, melainkan justru mengeremnya, agar pertumbuhan itu tidak terlalu cepat. Atau, dengan kata lain, perlu regulasi yang jelas dan berperspektif ke depan yang jauh. Peraturan itu tentu saja mengungkapkan berbagai restriksi, namun, pembatasan-pembatasan itu oleh pemerintah dianggap perlu terkait dengan standar kualitas yang diharapkan dan disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang lebih strategis.

Peta persoalan yang banyak diperbincangkan terkait dengan kelembagaan pendidikan Islam, setidaknya ada dua, yaitu menyangkut pendidikan pesantren dan perubahan bentuk beberapa sekolah tinggi dan institute menjadi universitas. Atau setidaknya, menuntut agar lembaga pendidikan tinggi Islam, khususnya yang berstatus negeri, diberi peluang mengembangkan bidang keilmuan secara lebih luas. Tuntutan mereka setidaknya, STAIN atau IAIN diberi status wider mandate. Dengan status itu, maka STAIN atau IAIN diperbolehkan untuk mengembangkan program studi lebih luas, tidak saja sebagaimana selama ini hanya mengembangkan bidang tarbiyah, syariah, ushuluddin, dakwah dan adab.

Persoalan mendesak terkait dengan pesantren adalah menyangkut pengakuan. Pesantren Salaf dan Diniyah sudah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, atau sebelum sekolah modern lahir. Lembaga pendidikan pesantren tersebut telah melahirkan lulusan yang mampu melakukan peran-peran strategis di negeri ini. Para tokoh Islam, baik yang terjun di dunia politik maupun pendidikan, banyak yang sebenarnya berasal dari lulusan pesantren salaf. Beberapa tokoh besar seperti KH. Machrus Ali Lirboyo Kediri, KH Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH Syamsul Arifin Situbondo, KH. Maimun Zuber, KH Habib Luthfi Pekalongan, dan masih banyak lagi lainnya, mereka itu adalah alumni pesantren salaf. Namun sampai saat ini, lembaga pendidikan itu belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Lulusan pesantren salaf, sekalipun cakap,, belum bisa diterima misalnya ingin ikut mendaftar sebagai calon Kepala Desa, anggota DPR, dan apalagi menjadi PNS.

Dalam pertemuan atau halaqah para ulama yang baru saja diselenggarakan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang atas anjuran Menteri Agama, mendesak agar pemerintah segera memberikan pengakuan terhadap keberadaan pesantren itu dan mengakui ijazah yang dikeluarkan sebagaimana ijazah sekolah umum lainnya. Hambatan yang paling mendasar yang dihadapi oleh pemerintah tatkala akan memberikan pengakuan, bukan terletak pada peraturan dan perundang-undangan, melainkan pada persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh pesantren itu sendiri.

Pemerintah, dalam memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan selama ini, selalu menggunakan standard tertentu. Sementara pesantren salaf tidak mengembangkan atau bahkan tidak memiliki standard itu. Sekiranya pesantren dipahami sebagai lembaga pendidikan alternatif, dan memang tidak akan sama dengan pendidikan pada umumnya, sehingga standard untuk menilai pesantren salaf dirumuskan secara khas standard untuk pesantren, maka pengakuan pemerintah itu tidak akan mengalami hambatan. Selama ini pengakuan itu tidak bisa diberikan karena terbentur oleh standard yang digunakan. Sebagai lembaga pendidikan alternatif, mestinya pemerintah menetapkan standard yang khas untuk melihat lembaga pendidikan alternatif itu, yakni standard yang khusus untuk pesantren salaf.

Sedangkan persoalan perubahan bentuk dari STAIN atau IAIN menjadi universitas atau pemberian mandat yang lebih luas—wider mandate—kiranya perlu direspons secara memadai. Semangat perubahan itu sesungguhnya sejalan dengan semakin luas pemahaman masyarakat muslim terhadap Islam. Islam tidak saja dipandang sebagai agama, melainkan juga ilmu dan peradaban. Jika demikian, maka pembatasan sebagaimana keadaannya yang sekarang akan dirasakan sebagai belenggu yang harus dihilangkan. Hanya saja, respons itu harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki, sehingga tetap dapat menjaga kualitas produk yang dihasilkan.

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN: PERLUNYA RANCANGAN STRATEGIS

Tampak dengan jelas bahwa pengembangan pendidikan Islam selama ini hanya sampai pada tataran alamiah. Pengembangan pendidikan Islam belum didasarkan pada perencanaan yang menyeluruh dan komprehensif. Kebijakan yang selama ini muncul dari pemerintah hanyalah berupa rambu-rambu aturan main pendirian lembaga dan pengawasannya agar tidak merugikan masyarakat.

Pemerintah hanya membuat peraturan kapan lembaga pendidikan dapat didirikan dan apa saja syarat minimal yang harus dipenuhi. Peraturan itu juga hanya menyangkut lembaga pendidikan formal, baik yang diprakarsai oleh masyarakat maupun yang dikembangkan sendiri oleh pemerintah, yang disebut sebagai lembaga pendidikan yang berstatus negeri.

Selama ini, pemerintah belum memiliki rencana yang berskala besar dan menyeluruh tentang pengembangan pendidikan Islam. Jika diumpamakan negeri ini sebagai sebuah kebun, dan kebun itu akan ditanami berbagai jenis tanaman berupa lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi; kenyataannya, hingga saat ini belum ada rancangan yang sistematik tentang tanaman itu. Katakanlah, misalnya, jika akan dikembangkan bentuk Universitas Islam Negeri (UIN), maka pada daerah mana yang akan diberi prioritas, ternyata gambaran itu belum tersedia. Semua tumbuh secara alamiah dari bawah. Pemerintah hanya bertindak sebatas merestui setelah syarat-syarat itu dipenuhi, dan bahkan jika datang desakan yang lebih kuat dari pemerintah daerah atau kekuatan lainnya.

Pertumbuhan semacam itu, selain berakibat tidak ada jaminan terhadap kualitas yang akan dihasilkan, juga keberadaannya tidak merata. Lembaga pendidikan, termasuk pendidikan tinggi Islam, hanya menyentuh aspek eksistensialnya dan belum pada tingkat kualitasnya. Sebagai akibatnya, pertumbuhan lembaga pendidikan Islam secara kuantitatif sangat cepat; namun, belum diikuti gerakan untuk meningkatkan kualitasnya. Itulah yang saya sebut sebagai buah dari kesadaran eksistensial itu.

Tidak meratanya lembaga pendidikan tinggi, sebagai akibat pertumbuhan dari bawah, juga terlihat sangat jelas. Tatkala IAIN masih berjumlah 14 buah, maka kelihatan sekali ketidak-merataan itu. Dari 14 buah IAIN di Indonesia pada waktu lalu, sebarannya ada 7 buah di pulau Sumatera, 5 buah IAIN di pulau Jawa, dan sisanya, satu di Kalimantan dan satu lagi di Sulawesi. Pertumbuhan itu sangat padat di wilayah barat, dan semakin ke timur semakin sedikit, bahkan tidak tumbuh. Keadaan ini persis seperti seorang petani tradisional, tatkala menanam sesuatu tidak merata hanya disesuaikan dengan selera dan bukan atas dasar kebutuhan riilnya.

Menyadari hal itu, kiranya sudah waktunya tanaman itu disebar lebih merata lagi, dan sudah pasti memerlukan menciptakan rancangan besar dan strategis di tingkat nasional. STAIN, IAIN, dan UIN diorientasikan ke wilayah bagian timur yang selama ini pertumbuhannya sangat lamban, tanpa mengabaikan di daerah lain, mengimbangi kepadatan di wilayah barat, yang sudah dirintis sebelumnya. Dengan berpikir seperti itu, maka kebun yang sedemikian luas, terbentang dari Sabang hingga Merauke, semua tertanami dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam, sesuai dengan kebutuhannya.

Selanjutnya, jika rencana besar tersebut berhasil diwujudkan, pemerintah, dengan anggaran pendidikan yang semakin stabil, maka kebijakan yang dirumuskan akan lebih strategis dan hasilnya akan lebih nyata. Selain itu, pemerintah tidak hanya sibuk mempertimbangkan perlu dan tidaknya usulan pendirian lembaga pendidikan yang didasarkan pertimbangan sesaat, melainkan semua kebijakan didasarkan atas perencanaan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif. Akhirnya, bukan pemerintah yang menyesuaikan dengan aspirasi masyarakat, melainkan sebaliknya, masyarakat menyesuaikan rancangan besar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Agama, sehingga orientasi pertumbuhan lembaga pendidikan tidak bersifat alamiah lagi.

Ke depan, dengan orientasi seperti itu, pengembangan pendidikan Islam didasarkan pada perencanaan yang jelas dan kuat. Sebaliknya, bukan lagi dikembangkan atas dasar kebijakan-kebijakan sesaat, dan juga desakan-desakan atau tekanan-tekanan dari berbagai pihak. Akhir-akhir ini, banyak kalangan merasa pemerintah tidak memiliki garis kebijakan yang mantap, hingga produk-produknya sebatas mengikuti selera yang tidak berdasarkan pada filosofi yang mantap pula. Sebagai akibatnya, tidak sedikit program-program yang mandek dan akhirnya seperti hanya berjalan di tempat.

PARTISIPASI MASYARAKAT: PERLUNYA DUKUNGAN PEMERINTAH

Cukup lama muncul isu, yang mengatakan bahwa selama ini pemerintah tidak mempedulikan lembaga pendidikan swasta yang berada di bawah Kementerian Agama. Pemerintah hanya mempedulikan lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Isu tersebut sepintas sepertinya benar. Namun, jika dicermati secara saksama, yang terjadi adalah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dalam kurun waktu yang cukup lama tidak memiliki dana yang cukup memadai untuk membiayai lembaga pendidikan yang berada di bawah wewenangnya. Dalam waktu sekian lama, anggaran kementerian agama selalu berada diujung paling belakang.

Belakangan, perkembangan mulai beranjak lebih positif, sejak zaman reformasi, dan anggaran untuk pendidikan meningkat, tidak terkecuali pendidikan yang berada di bawah pembinaan Kementerian Agama, maka anggaran untuk pendidikan Islam mengalami kenaikan drastis. Sebelumnya, tidak saja lembaga pendidikan swasta yang kurang mendapatkan perhatian, akan tetapi juga lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Hal itu bisa dilihat dari anggaran masing-masing IAIN dan STAIN di seluruh tanah air ini, keadaannya sangat memprihatinkan.

Sedemikian kecilnya anggaran yang diperuntukkan bagi lembaga pendidikan Islam, hingga kemudian muncul sinyalemen yang menatakan bahwa anggaran perguruan tinggi Islam di seluruh tanah air, masih lebih rendah bilamana dibandingkan dengan anggaran yang diperuntukkan bagi pengelolaan perpustakaan Universitas Gajah Mada atau anggaran pendidikan IKIP Rawamangun Jakarta. Kebijakan yang amat diskriminatif inilah sesungguhnya yang menjadikan lembaga pendidikan Islam, baik negeri maupun swasta, tertinggal jauh dibanding dengan lembaga pendidikan lain, khususnya yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.

Gambaran seperti itu perlu diungkap agar ke depan tidak terjadi kesalahan yang sama, yang akan berakibat buruk atau setidak-tidaknya merugikan pengembangan pendidikan Islam secara keseluruhan. Kiranya pemberian perhatian pemerintah terhadap semua

Monday, October 17, 2011

LOKALISASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL


Friday, September 23, 2011

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA)

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

BAB I
DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

A. Etimologis / Bahasa
Kata “AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH” berasal dari:
Ahl : golongan, pengikut, keluarga
As-Sunnah : tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan dan tindakan Rasulullah SAW
Wa : dan atau serta
Al-Jama’ah : jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul SAW. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Maka secara etimologis, aswaja berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasul SAW dan jalan hidup para sahabatnya (lebih khusus sahabat Khalifah Ar-Rasyidin). Jalan hidup Rasul SAW adalah ekspresi nyata dari isi kandungan Al-Qur’an. Para sahabat (khususnya Khalifah Ar-Rasyidin) adalah generasi pertama dan utama dalam melazimi perilaku Rasul SAW.

B. Teminologis / istilah
1. Substansial (Jauhari yang bersifat umum)
Menurut Abul Fadl bin As-Syekh Abdus Syakur Al-Anshari dalam kitab “Al-Kawakibul Lama’ah fi Tahqiqil Musamma bi Ahlis Sunnah wal Jama’ah :
“Aswaja adalah golongan yang senantiasa berpegang teguh (commited) mengikuti sunnah Rasul SAW dan petunjuk (thariqah) para sahabatnya, baik dalam lingkup aqidah, ibadah, maupun dalam lingkup akhlak”.

Pendapat lain menyebutkan bahwa:
“Aswaja ialah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasul SAW dan jejak hidup para sahabatnya, dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah”.

Hadits Nabi:
عن عبد الله بن عمرو قال , قال رسول الله ص م : إن بنى اسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة , وتفترق امتى على ثلاث وسبعين ملة كلهم فى النار الا ملة واحدة , قالوا من هى يارسول الله ؟ قال ما انا عليه واصحابى . ( رواه الترمدَى)

والدَى نفس محمد بيده , لتفترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار , قيل من هم يارسول الله ؟ قال : اهل السنة والجماعة (رواه الطبرانى )

فعليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين , تمسكوا بها وعضوا عليهما بالنواجدَ (رواه ابوداوود )

2. Formal / institusional (‘aradli yang bersifat khas, setelah melalui konteks historis dan mengalami revitalisasi)
“Aswaja adalah sebuah paham yang dalam lingkup fiqh mengikuti salah satu dari mazhab 4 ( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali ), dalam lingkup kalam mengikuti salah satu dari pemikiran Al-Asy’ari atau Al-Maturidi, dan dalam lingkup tasawuf mengikuti pemikiran Al-Ghazali dan Al-Junaid”.
Tetapi ketiga lingkup tersebut substansinya tetap merujuk kepada sunnah Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.

BAB II
SEJARAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

A. Periode Rasul SAW
Ketika Rasul SAW masih hidup, ajaran Islam dilaksanakan secara baik dan benar, tepat dan tidak menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pribadi Rasul SAW sbagai pembawa Islam dan sebagai suri tauladan, terbimbing langsung melalui bimbingan Ilahi. Dan para sahabat terbimbing dan terkontrol langsung oleh Rasul SAW. Amaliah Rasul mustahil menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an. Amaliah Rasul yang mempribadi kemudian disebut sebagai As-Sunnah. Amaliah para sahabat yang meneladani Rasul SAW secara langsung, kemudian melekat menjadi jalan hidup mereka, dan selanjutnya disebut sebagai thariqah sahabat.

B. Periode Sahabat
Pasca Rasul SAW, sejak Abu Bakar As-Siddiq di bai’at menjadi khalifah sampai berakhirnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, kehidupan umat Islam bernuansa lain dan mulai muncul perpecahan.
1. Pada masa Khalifah Abu Bakar muncul gerkan pembangkang zakat yang menjadi sendi Islam, juga muncul gerakan anti Islam melalui nabi-nabi palsu ( Musailamah Al-Kazzab, Aswad Al-Ansi, Tuhailah bin Khuwailid ).
2. Meluasnya wilayah pemerintahan Islam dizaman Khalifah Umar bin Khattab, menimbulkan dendam dari para penguasa yang ditaklukkan. Mereka menyusupkan ajaran agama mereka ke dalam ajaran Islam, bahkan terjadi kasus pembunuhan terhadap Khalifah Umar.
3. Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, fenomena perpecahan mulai lebih jelas lagi. Issu nepotisme merebak. Provokator ulung Abdullah bin Saba’ (yahudi yang pura-pura muslim) berhasil mempengaruhi para elit politik. Kontra politik dibesar-besarkan hingga terjadi pemberontakan diberbagai daerah ( a l : Kufah, Basrah, Mesir, dan tempat lain ). Muncul pula mazhab “wishayah” yang diciptakan oleh Abdullah bin Saba’ (berupa doktrin bahwa Rasul telah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti kedudukan khalifah ). Mazhab wishayah diperkut lagi dengan paham yang disebut “haq Ilahi” yang juga dicetuskan Abdullah bin Saba’ ( kedudukan khalifah adalah hak Tuhan, dan hak Tuhan itu jatuh kepada Ali melalui wasiat Rasul ).
4. Pada masa Usman golongan non aswaja sudah mulai berani menampakkan diri, terlebih pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Partai-partai politik mulai bermunculan dan terjadi perpecahan diantara umat Islam yang menjadi sumber perbedaan paham ajaran Islam. Selain Syi’ah, ada pula partai Khawarij yaitu orang-orang yang keluar dari golongan Ali. Tetapi sesungguhnya pengikut paham-paham yang muncul dan keluar dari rel ajaran Rasul tidak sebanyak dibanding golongan aswaja.

Golongan mayoritas secara substansial adalah golongan aswaja, tetapi golongan mayoritas ini belum disebut sebagai golongan aswaja. Para ulama menyebutnya dengan istilah berbeda-beda, antara lain:
1. Jumhur al-Ummah al-Islamiyah ( mayoritas umat Islam )
2. Jama’iyah ( umat terbesar )
3. As-Sawad al-A’dham ( kelompok terbesar )
4. As-Salaf as-Shalih ( para pendahulu yang shalih-shalih )
5. Ahl al-Haq ( golongan yang haq/benar ).

C. Periode Tabi’in
Yang dimaksud periode tabi’in dalam hal ini yaitu periode pasca kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang ditengarai oleh munculnya sekte-sekte Islam seperti : Qadariyah, Murji’ah, Jabariyah dan Mu’tazilah.
1. Qadariyah dengan pendirinya Ma’bad Al-Juhani dan Gailan Al-Dimasyqi, antara lain berpendapat bahwa manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa campur tangan sama sekali dari Tuhan.
2. Murji’ah yang dipelopori Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Shalah As-Saman, Sauban dan Dirar bin Umar, berpendapat tentang penangguhan hukuman duniawi hingga hari kiamat.
3. Jabariyah pendirinya Jaham bin Sofwan (sering disebut sekte Jahamiyah) menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan secara mutlak oleh qadar Tuhan.
4. Mu’tazilah ( Ahlul ‘Adl wat Tauhid ) yang pendirinya Wasil bin Atha AL-Ghazal terlalu berlebihan memuja kemampuan akal. Pendapatnya antara lain ; -Al-Qur’an adalah mahluk dan bersifat hadits. – Tuhan Esa tanpa bersifat.
Sampai periode tabi’in ini, istilah aswaja belum muncul secara institusional. Namun golongan yang secara substansial berada di dalamnya tetap berjumlah mayoritas.



D. Periode Imam Mazhab Empat
Periode Imam Mazhab 4 merupakan periode kemunculan aliran (mazhab) dibidang fiqh, yang jumlahnya semula sangat banyak. Tetapi kemudian tinggal 4 mazhab saja yang hingga kini diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam, yaitu :
1. Mazhab Hanafi, pendirinya bernama Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, lahir di Kufah tahun 80 H dan wafat tahun 150 H. --- Ahlur Ra’yi / Qiyas
2. Mazhab Maliki, pendirinya Malik bin Anas Al-Ashbahy, lahir di Madinah tahun 93 H dan wafat tahun 179 H. --- Ahlul Hadits
3. Mazhab Syafi’i, pendirinya Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi, lahir di Ghazza/Ghuzzah tahun 150 H dan wafat di Mesir tahun 204 H. --- Perpaduan 1 dan 2
4. Mazhab Hambali, pendirinya Ahmad bin Hambal As-Syaebani, lahir di Baghdad tahun 164 H dan wafat tahun 248 H. --- Ahlul Hadits.
Ke empat Imam Mazhab tersebut adalah para penegak substansi paham aswaja.

E. Periode Al-Asy’ari dan Al-Maturidi
Periode ini merupakan periode institusi aswaja, khususnya dalam lingkup kalam (teologi). Semenjak kemunculan dua tokoh besar Al-Asy’ari dan Al-Maturidi sedemikian melembaganya nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
1. Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, lahir di Basrah tahun 260 H/ 873 M dan wafat tahun 324 H / 935 M. Semula Al-Asy’ari tekun mempelajari aliran Mu’tazilah, bahkan Al-Asy’ari yang cerdas dan mahir berargumentasi menjadi penganut setia mu’tazilah dan ditokohkan. Namun kemudian Al-Asy’ari berdiri sendiri dengan aliran kalam yang dicetuskannya dan menjadi guru bagi banyak orang.
2. Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi, lahir di Maturid – Samarkand tahun 248 H / 862 M dan wafat tahun 333 H / 944 M.
Ke dua tokoh ini sama-sama berjuang keras menegakkan akidah aswaja dengan menolak paham Mu’tazilah yang saat itu berkembang dan mendapat dukungan politis dari Daulah Bani Abbasiyah (terutama Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim, dan Al-Wasiq). Meskipun kemasan institusi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi hanya dalam lingkup kalam, tetapi segera mendapat sambutan dari berbagai pihak dan penjuru memperkuat institusi aswaja sebagai sebuah paham mayoritas kaum muslimin.

F. Periode Al-Ghazali dan Al-Junaid
1. Al-Ghazali bernama lengkap Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, lahir di Tus (distrik Khurasan) tahun 450 H / 1058 M dan wafat tahun 505 H/1111 M. Beliau seorang tokoh yang populer dikalangan umat Islam.
2. Sebelum Al-Ghazali, lebih dahulu telah muncul seorang tokoh dibidang tasawuf yaitu Al-Junaid yang bernama lengkap Abul Qasim Al-Junaid bin Muhammad bin Junaid Al-Baghdadi, wafat tahun 297 H / 909 M.
Kedua tokoh ini mempermantap institusi aswaja, khususnya dalam lingkup tasawuf (ahlak). Dan sampai disini, batasan formal (‘aradli) tentang paham aswaja mengalami revitalisasi sebagaimana disebut di muka.

BAB III
ASWAJA SEBAGAI MAZHAB BARU

Mazhab menurut bahasa berarti jalan. Adapun menurut istilah, mazhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid. ( KH Zainuddin Dimyathi, Al-Idza’ah Al-Muhimmah, hal. 18 ).

المدَهب هو الأحكام فى المسائل التى دَهب واعتقد واختارها الإمام المجتهد

Hukum-hukum berbagai masalah berdasarkan hasil ijtihad, sedangkan mazhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan disepakati para ulama. Mazhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan dikalangan ulama, kemudian hasil pendapat ulama (mujtahid) itu disebar luaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Paham Aswaja adalah paham Islam secara menyeluruh. Para ulama tidak berbeda pendapat, bahwa Islam secara makro meliputi lingkup aqidah (kalam), ibadah (fiqh), dan ahlak (tasawuf). Dan selanjutnya masing-masing disebut aqidah (kalam) aswaja, ibadah (fiqh) aswaja, dan ahlak (tasawuf) aswaja.
A. Substansi paham aswaja dalam lingkup aqidah yang tetap mengikuti sunnah Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah institusi yang dicetuskan oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Meskipun pemikiran kalam mereka berdua tidak sama persis, tetapi tetap committed terhadap petunjuk naql. Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naql, tidak sampai mensejajarkan apalagi memujuanya. Institusi kalam mereka berdua kemudian disebut Al-Asy’ariyah atau Al-Maturidiyah. Keduanya mendapat dukungan dari tokoh-tokoh pengikut yang menyebarkan dan mengembangkan pemikiran kalam yang dicetuskannya sehingga menjadi aliran (mazhab) kalam yang berkembang dan diikuti oleh mayoritas umat Islam.
B. Institusi fiqh atau syari’ah yang sejalan dengan konteks substansi paham aswaja ialah fiqh empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Bahkan mazhab Hanafi dianut pula oleh Al-Maturidi, sedangkan mazhab Syafi’i dianut pula oleh Al-Asy’ari. Meskipun antara keempat mazhab fiqh tersebut ditengarai banyak perbedaan, tetapi perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam koridor ikhtilaf rahmah. Keempat mazhab tersebut masih sama-sama committed terhadap petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah, sama-sama taqdimun Nas ‘alal Aql. Mereka menggunakan akal sebatas untuk beristinbath, tidak sampai mensejajarkan apalagi mengabaikan Nash.
C. Dalam lingkup akhlak (tasawuf), aswaja mengikuti wacana ahlak yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Al-Junaid dan tokoh-tokoh lain yang sepaham termasuk Abu Yazid Al-Bustami. Pemikiran ahlak mereka memang tidak melembaga menjadi sebuah mazhab tersendiri sebagimana dalam lingkup aqidah dan fiqh. Namun wacana mereka sejalan dengan substansi paham aswaja serta banyak diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam.
Ketiga lingkup (aqidah, fiqh, dan ahlak) itu satu dengan yang lain tidak terpisahakan, semuanya integral dan diamalkan secara bersamaan oleh kaum sunni. Dan corak pemikiran dalam ketiga lingkup itu menjadi paham (mazhab) aswaja.

BAB IV
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

Pola pikir yang diisyaratkan oleh paham ahlussunnah wal jama’ah adalah taqdimun nash dan rasional, atau mengutamakan nas tetapi dalam memahami nas itu digunakan logika filsafat yang rasional.
A. Taqdimun Nash
Pola pikir mendahulukan petunjuk nash terindikasi oleh komitmen tegas aswaja dalam rangka purifikasi (pemurnian) ajaran Islam. Menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber rujukan vital dalam setiap aspek kehidupan (aqidah, ibadah, dan ahlak), sebagaimana yang dikembangkan oleh Rasul SAW dan para sahabatnya pada periode awal kelahiran Islam.
Dengan pola pikir taqdimun nash ini, ajaran Islam akan terhindar dari berbagai nuansa yang bersifat ekstrim. Dalam lingkup aqidah terhindar dari pemikiran kalam liberal yang terlalu mendewakan kemampuan akal. Dalam lingkup ibadah terlepas dari egoisme pembenaran pendapat pribadi ataupun mazhab. Dan dalam lingkup ahlak akan terhindar dari pemikiran mistis non Islam.
Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi pedoman kebenaran mutlak. Peran logika-filsafat dalam pemikiran kalam tetap ternaungi oleh kebenaran mutlak Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perbedaan pendapat fiqhiyah yang memang interpretable tetap menjadi ikhtilaf rahmah. Dan pemikiran-pemikiran tasawuf pun tetap sejalan dengan garis-garis nash.



B. Rasional
Taqdimun nash tidak berarti menganulir atau menafikan kebenaran rasio (akal). Bahkan dalam paham aswaja, akal mendapat tempat yang sangat terhormat sejalan dengan penghormatan yang diberikan oleh semangat nash itu sendiri (banyak ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah mengungkap tentang penggunaan akal).
Aswaja memberi porsi untuk berpola pikir rasional, tetapi mengingat kemampuan akal sangat terbatas dan variatif, mustahil dapat menembus kebenaran mutlak dan hasilnya bervariasi antara akal satu dengan yang lain. Maka menjadi logis jika disebut ; akal bukan bandingan naql (nash). Dan menjadi irrasional jika sampai mensejajarkan atau membandingkan kebenaran akal dengan kebenaran naql (sama dengan membandingkan kemampuan manusia dengan kemampuan Tuhan).
Pola pikir yang dikembangkan aswaja ialah menempatkan rasio/akal sebagai alat bantu untuk memahami kandungan naql, itupun terbatas pada apa yang bisa dijangkau oleh kemampuan akal. Penggunaan ta’wil (penafsiran metafores/majazi) terbatas pada ayat-ayat mutasyabihat dengan pena’wilan yang terbatas pula (tidak terlalu mendalam).
Dengan pola pikir yang demikian, maka paham aswaja senantiasa representatif dalam setiap zaman, sejalan dengan representasi ajaran Islam sampai kapan pun dan dimana pun, bahkan dalam keadaan bagaimana pun (Islam aktual dan up to date).


BAB V
KONTROVERSI ASWAJA

Kontroversi Ahlussunnah wal Jama’ah cukup luas dalam berbagai sisi. Sebagai gambaran dapat disampaikan beberapa contoh :
A. Hadits mengenai firqah umat Islam
Hadits yang melansir tentang prediksi perpecahan umat Islam diantaranya diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, Nasai, Ibn Majah dan Hakim. Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dari 4 jalur sanad yaitu Abu Hurairah, Sa’ad, Abdullah bin Amr, dan Auf bin Malik dengan teks (lafaz) beragam. Menurut Ibnu Isa hadits ini hasan shahih, dan dikalangan ahli hadits lainnya status hadits ini tidak dipersoalkan otoritasnya sebagai hujjah. (Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari, dari Albani, Silsilah Ahadits As-Shahihah wa Syai’un Min Fiqhiha wa Fawaidiha, hal. 33).
Dalam teks lain dari jalur Abdullah bin Umar menurut riwayat Tirmidzi terdapat tambahan kata-kata (kulluhum fin nar illa millatan wahidah, qaaluu waman hiya ya rasulallah, qaala maa anaa ‘alaihi wa ashhabii). Karena hanya ada satu jalur periwayatan, maka Tirmidzi menyebut bahwa hadits ini berstatus hasan gharib. Awalnya hadits tersebut berstatus lemah (dla’if), karena salah satu periwayat yakni Abdur Rahman bin Ziyad Al-Ifriqi menjadi penyebab status kedla’ifannya. Tetapi karena ada hadits penguat dari jalur lain, maka berstatus hasan. (ibid, dari Al-Mabarakafuri, Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi).



B. Nama Ahlussunnah Wal Jama’ah
Al-Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah) untuk kata As-Sunnah dan Al-Jama’ah sebagaimana yang menjadi pengertian populer tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an terdapat kata As-Sunnah dibanyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan Allah bagi pola hidup manusia sebagai individu maupun kelompok. Demikian halnya dengan kata Al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, sekalipun memang banyak kata derivasinya seperti kata jami’an, yajma’un, jami’un dan lain-lain dengan pengertian yang beragam.
Term Ahlussunnah wal Jama’ah ditemukan dari hadits tentang firqah umat Islam dan kemudian melembaga setelah melalui konteks historis. Dan selain aswaja, ada istilah lain yang juga digunakan untuk mengidentifikasi kelompok sunni (disamping 5 nama yang sudah disebut dimuka) yaitu :
1. Ahlussunnah wal Jama’ah wal Atsar;
2. Ahlul Hadits was Sunnah;
3. Ahlussunnah wa Ashhabul Hadits;
4. Ahlussunnah wal Istiqamah, dan
5. Ahlul Haq was Sunnah.

C. Kelompok / Golongan Mana ?
Jika dirunut dari pemahaman substansi Ahlus Sunnah, maka pengertiannya sangat longgar dan relatif dapat merangkum semua umat Islam, kecuali yang mengingkari sunnah. Tetapi kata Al-Jama’ah sebagaimana yang dipahami mengikuti thariqah sahabat (terutama sahabat 4 / Al-Khulafaur Rasyidun) telah menafikan golongan syi’ah.
Secara substansi mayoritas umat Islam yang commited terhadap sunnah Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah sunni. Pengertian ini membuat setiap aliran dalam Islam (yang menyatakan bagian dari Islam) secara normatif berhak mengklaim diri sebagai aswaja. Tetapi pada era Al-Asy’ari batasan aswaja (kalam) telah jelas dan menjadi sebuah aliran. Revitalisasi batasan aswaja dalam wilayah paham (fiqh, aqidah, dan tasawuf) sesuai dengan kurun waktu para imam mazhabnya (antara abad ke 2 sampai abad ke 5 H), sehingga paham dan kaidah-kaidahnya telah membedakan aswaja dengan paham lain.

D. Masalah Internal (khususnya di Indonesia)
Mengidentifikasi masalah yang muncul dikalangan komunitas sunni tentu cukup sulit, karena kompleksitas problem membutuhkan penelitian tersendiri. Beberapa hal yang gaung kontroversinya cukup kuat di masyarakat (Indonesia), bahkan terkadang menjadikan perselisihan dan sengketa, antara lain pada masalah :
1. sistem kemazhaban dan atau klaim mazhabnya paling benar;
2. ijtihad dan taklid;
3. aqaid 20 / 50 dan asmaul husna;
4. ritual ziarah kubur, tawassul, istighasah, syafa’at, qunut, adzan dua,maulid, thariqat, dan lain-lain.

E. Akar Masalah Perselisihan
Akar masalah dari beberapa perselisihan itu antara lian:
1. pengetahuan manhaj al-fikr aswaja lemah;
2. tidak sampainya referensi buku/kitab karya para penegak (mazhab) dalam aswaja ke para pelajar menengah ke bawah;
3. fanatisme sempit dan radikalisme;
4. aktualisasi paham kurang memadahi.

BAB VI
PERKAWINAN ASWAJA DENGAN NU

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai perkawinan aswaja dengan NU, perlu dikemukakan antara lain mengenai; corak Islam di Nusantara, paham ke-Islam-an ulama pesantren, tujuan organisasi NU, dan implementasi aswaja di NU.
A. Corak Islam di Nusantara
Tinjauan historis tentang masuknya Islam di Nusantara dari aspek asal, waktu, dan pembawanya (muballigh) masih terdapat perbedaan pendapat dan menyisakan perdebatan antara para sejarawan. Namun mayoritas sejarawan sepakat mengenai corak Islam yang dibawa oleh para penyebar yang masuk ke Nusantara adalah Islam Sunni, dan mayoritas muslim Indonesia bermazhab Syafi’i. Meski tak bisa dibantah adanya sedikit pengaruh (varian) paham syi’ah, tetapi sejak awal Islam datang di Indonesia pengaruh paham sunni lebih dominan.

B. Paham ke-Islam-an Ulama Pesantren
Dari beberapa media proses penyiaran ajaran Islam di Nusantara, salah satunya melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengamalan ajaran Islam, sekaligus berfungsi sebagai pusat penyebaran Agama Islam.
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke 18. Tetapi terdapat ceritera bahwa tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim ( w. 1419 M ). Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren di Kembang Kuning – Surabaya, kemudian ia mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selanjutnya bermunculan pesantren-pesantren, seperti pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran-Lamongan, Raden Fatah di Demak. Menurut para penulis sejarah, tokoh sentral penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah para ulama yang dikenal dengan julukan Wali Sanga (sembilan wali).
Peran pesantren menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia sangat efektif. Para santri (kemudian menjadi ulama yang juga disebut kiai, ajengan, tengku, tuan guru) tersebar keberbagai daerah di Nusantara dan sangat berjasa dalam mewarisi pendidikan model pesantren dan dakwah Islamiyah. Pengaruh ulama/kiai dalam pengajaran dan pengamalan Islam pada komunitas muslim sangat kuat. Paham ke-Islam-an ulama pesantren pada umumnya adalah paham ahlussunnah wal jama’ah. Maka paham ke-Islam-an masyarakat pun pada umumnya adalah aswaja.

C. Tujuan organisasi NU
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah Islamiyah) yang didirikan oleh para ulama (kiai) pesantren. Pilar utamanya adalah K H M Hasyim Asy’ari (tokoh kharismatik sebagai sumber legitimasi) dan K H Wahab Chasbullah (inspirator, motor penggerak, dan fasilitator pembentukan organisasi).
Nahdlatul Ulama didirikan sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin. Tujuan utamanya adalah berlakunya ajaran Islam menurut paham ahlussunnah wal jama’ah didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsistensi NU dan warga nahdliyin dalam memelihara, melestarikan, dan mengembangkan Islam ala ahlissunnah wal jama’ah selalu solid, karena NU lahir untuk mengawal paham ahlussunnah wal jama’ah. Maka istilah aswaja sangat populer dan familier dikalangan nahdliyin karena sering disebut-sebut oleh para tokohnya.

D. Implementasi aswaja di NU
Implementasi paham aswaja di NU sebagaimana koridor yang telah disebutkan dalam manhajul fikr yaitu: taqimun nash dan rasional. Ada beberapa tipikal pendekatan ajaran Islam di NU, yang perlu dikemukakan disini, antara lain ;
1. Dalil hukum Islam (yang disepakati mayoritas ahli ushul) adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Hierarki ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Empat sumber hukum ini berdasarkan Q S An-Nisa’ : 59.
                   ... 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)...”.

Al-Qur’an secara keseluruhan terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat, terbagi dalam 30 juz. As-Sunnah berupa qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah sesuai dengan klasifikasinya (mutawatir, shahih, dla’if). Ijma’ (kesepakatan para mujtahid disuatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu) baik yang sharih (melalui pernyataan) maupun yang sukuti (melalui diam). Qiyas [menyamakan hukum cabang (far’u) kepada asal (ashlu) karena ada kesamaan illat (sebab) hukumnya] yang jaly, khafi, musawi maupun aulawi. Adapun dalil lain (yang diperselisihkan) adalah urf, syar’u man qablana, mazhab shahabi, istihsan, istishab, istishlah, dan saddudz dzara’i.
2. Ijtihad (mencurahkan segala upaya / kemampuan pikir untuk menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, Qiyas serta dalil lainnya) harus terus dilakukan karena persoalan kehidupan terus berkembang dan membutuhkan jawaban dari sisi agama. Tetapi guna menjaga kualitas keabsahan hukum Islam, maka seorang mujtahid dituntut memenuhi persyaratan:
a. menguasai bahasa Arab (termasuk qawa’idul lughah dan balaghah)
b. menguasai dan memahami Al-Qur’an
c. menguasai dan memahami Al-Hadits
d. mengetahui ijma’ sahabat
e. memahami qiyas
f. menguasai ushul fiqh
g. memahami maqashidus syar’i
h. memahami sebab-sebab ikhtilaf
i. menguasai patokan dalam menghadapi ta’arudl (kontradiksi antar dalil)
j. memahami sosio historis dan ciri umum budaya umat
k. mampu mengaplikasikan istinbath hukum secara sistimatis.
3. Taqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut) diperbolehkan. Allah tidak mewajibkan secara fardu ‘ain untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Disamping itu, untuk melakukan ijtihad harus memenuhi persyaratan yang berat, dan tidak setiap orang memiliki kesempatan dan kesanggupan menguasai ilmu-ilmu dimaksud.
4. Bid’ah terbagi menjadi ; hasanah (inovasi baik) dan bid’ah sayyi’ah (inovasi jelek). Bid’ah hasanah diklasifikasikan menjadi bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Sedangkan bid’ah sayyi’ah diklasifikasikan menjadi bid’ah makruhah dan muharramah.
5. Bermazhab fiqh secara qauliy (pengutipan utuh qaul yang sudah terbukukan), maupun manhajiy (pemecahan problem hukum berpedoman kepada metode istiqra’ suatu mazhab) hanya kepada empat mazhab, dengan pertimbangan :
a. kualitas individu dan keilmuan mereka terkenal dan diakui seluruh umat Islam
b. merupakan mujtahid muthlaq mustaqil
c. murid-muridnya konsisten menulis dan mengajarkan mazhabnya (jalur periwayatannya valid)
d. di antara mereka terdapat hubungan intelektual.
6. Kaidah fiqhiyah yang dirumuskan oleh para ulama, yang populer antara lain :
a. Al-Muhafadhah ‘alal Qadimish Shalih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah (menjaga kesinambungan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kaidah ini memberikan ruang pelestarian nilai-nilai yang baik pada kebiasaan lama dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik.
b. Al-‘Adah Muhakkamah (adat dapat menjadi hukum). Rumusan hukum yang tidak bersifat absolut (qath’i) dapat ditata selaras dengan subkultur masyarakat menurut ruang dan waktu untuk kesejahteraan dan kebaikan masyarakat tersebut.
c. Al-Hukmu Yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman (sebuah keputusan itu terkait dengan sebabnya). Sebuah kebijakan (hukum) yang dilakukan dipengaruhi oleh alasannya.
d. Ma La Yatimmul Wajibu illa Bihi Fahuwa Wajib (jika sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain, maka unsur yang lain itu juga menjadi keharusan). Sebuah idealisasi harus diupayakan dengan memperhatikan faktor lain yang berkaitan.
e. Idza Ta’aradla Mafsadatani Ru’iya A’dhamuhuma Dlararan Birtikabi Akhaffihima (jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan, maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar, dengan cara melaksanakan yang paling kecil resikonya). Kaidah ini merupakan solusi untuk mempertimbangkan resiko buruk dengan cara memilih kebijakan yang dampak buruknya paling ringan.
f. Dar’ul mafasidi Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih (mencegah bahaya lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan). Memilih langkah menghindari bahaya itu lebih baik dari pada mengupayakan kebaikan yang beresiko tinggi.
g. Tasharruful Imam Man’utun bi Mashlahatil Ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya).
h. Dan lain-lain

Dari uraian tersebut diatas, maka nampak bahwa paham aswaja yang telah ada sejak awal masuknya Islam di Indonesia, mendapat pengawalan dari ulama pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga pertemuan aswaja-NU menemukan formulanya.



BAB VII
TAWASUTH, TAWAZUN, TASAMUH, DAN TA’ADDUL

Pola umum Islam aswaja sebagai aliran pemikiran yang membedakan dengan aliran/paham lain adalah kecenderungan pemikiran tawasuth, tawazun, tasamuh, dan ta’addul.
1. Tawasuth ( tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim ). Suatu pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrim (tatharruf). Misalnya dalam kalam antara Qadariyah dengan Jabariyah, antara kaum tekstualis Mujassimah dengan rasionalism Mu’tazilah.
Sikap ini disarikan dari Q S Al-Baqarah : 143
  •     ••      ... 
Artinya: “dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu....”

Pengambilan jalan tengah bagi kedua ekstrimitas itu juga disertai dengan sikap Al-Iqtishad (moderat) yang tetap memberikan ruang dialog bagi pemikiran yang berbeda.
2. Tawazun ( seimbang ) dalam segala hal. Corak ini dibangun terutama dalam dimensi sosial politik. Dengan prinsip tawazun, aswaja berusaha mewujudkan integritas dan solidaritas sosial umat Islam. Dengan tawazun, muncul keseimbangan antara tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan ketuhanan, muncul konsep penyatuan antara tatanan duniawi dan tatanan agama.
Landasan pola tawazun terdapat dalam Q S Al-Hadid : 25.
         ••  ...
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
3. Tasamuh ( toleran ) merupakan corak pemikiran aswaja terhadap realita pluralitas pemikiran. Aswaja juga memberikan pengakuan dan tempat bagi berbagai pemikiran yang pernah tumbuh dalam perjalanan sejarah umat Islam. Toleransi ini sangat tampak dalam pemikiran hukum Islam yang banyak menyentuh aspek relasi sosial. Demikian juga dalam sosial budaya, aswaja sangat toleran terhadap tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan berusaha mengarahkannya. Tasamuh ini bisa dipahami dari:
Q.S Thaha : 44
        
Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".

Q S Ali Imran : 159
                ..
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...”.

4. Ta’adul / i’tidal (tegak lurus / adil ). Al-Qur’an secara tegas memerintahkan untuk tegak membela kebenaran dan berlaku adil. Keadilan diyakini merupakan nilai / spirit Islam yang aktual. Lihat Q S Al-Maidah : 8
          •            ... 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. ...”.




BAB VIII
PEMBENTUKAN SIKAP-SIKAP ASWAJA

Kepentingan masyarakat Islam merupakan orientasi gerakan perjuangan NU. Maka pada muktamar ke 13 tahun 1935, NU merumuskan konsep pembentukan sikap masyarakat yang ideal (guna amar ma’ruf nahi munkar berpedoman Q S Ali ‘Imran : 110 dan). Konsep pembentukan sikap ini merupakan prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan kepada setiap pribadi muslim yang terformulasiakn dalam “Mabadi’ Khaira Ummah” (dasar, landasan, atau langkah awal membangun umat yang baik).
Mabadi’ khaira ummah merupakan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masayarakat yang ideal dan terbaik, yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik itu dengan penanaman nilai-nialai : as-shidq (kejujuran), al-amanah wal wafa’ bil ‘ahdi (komitmen dan memenuhi janji), dan at-ta’awun (komunikatif dan solutif).
Pada Munas Alim Ulam di Bandar – Lampung tnggal 21-25 Januari 1992, para ulama menyepakati untuk menambah (menyempurnkan) mabadi’ khaira ummah dengan al-istiqamah (kontinuitas/konsisten) dan al-‘adalah (tegas menegakkan keadilan). Maka prinsip-prinsip mabadi’ khaira ummah menjadi ada lima :
A. As-Shidq mengandung pengertian kejujuran/kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sehingga dalam diri manusia terdapat korelasi antara ide, konsepsi, dan implementasi. Prinsip kejujuran otomatis akan mengikis sikap inkonsistensi, oportunitas, distorsitas, dan manipulatif. Jujur kepada diri sendiri, kepada sesama, dan kepada Allah. As-shidq juga mengandung pemahaman transparasi, yaitu terbuka kepada orang lain kecuali dalam persoalan krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama.
Adapun as-shidq dalam arti kesungguhan mendorong manusia agar serius, profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai kegiatan dan tugas. ( lihat Q S Al-Baqarah : 177, Q S At-Taubah : 119 )
...        ...
Artinya: “... mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.

ياايها الدَين أمنوا اتقواالله وكونوا مع الصادقين.

B. Al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi. Al-Amanah adalah pemenuhan terhadap beban (maknanya lebih luas dari al-wafa’ bil ‘ahdi), sedangkan al-wafa’ bil ‘ahdi adalah pemenuhan tugas yang terkait dengan perjanjian. Manusia dituntut untuk berupaya menjadi pribadi yang dapat dipercaya dan setia menepati komitmen, baik yang berkaitan dengan agama, negara, maupun sosial. Kepercayaan membutuhkan konsistensi tanggung jawab, dan merupakan sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia. Manusia yang suka khianat dan ingkar janji, tidak akan mendapat keparcayaan dari kawan, sejawat dan relasi. ( lihat Q S An-Nisa’ : 58 ).

إن الله يأمركم ان تؤدوا الأمنت الى اهلها . . . ( الاية )

C. At-Ta’awun artinya tolong menolong. Prinsip at-ta’awun menjunjung tinggi sikap solidaritas sesama manusia dan berinteraksi bahu membahu dalam hal kebaikan, baik bersifat material maupun spiritual. At-ta’awun bukanlah prinsip dasar untuk menopang tindakan destruktif yang dapat memperburuk kondisi sosial budaya ataupun keberagamaan. ( lihat Q S Al-Maidah : 2 ).
...            ... 
Artiny: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”

D. Al-‘Adalah artinya keadilan. Prinsip keadilan mengandung pengertian obyetif, proporsional, dan taat asas. Prinsip keadilan mendorong manusia untuk berpegang pada kebenaran obyetif dan bertindak proporsional. Bersikap adil berarti mencita-citakan kebaikan dimuka bumi, karena dengan keadilan akan terwujud obyetifitas, proporsionalitas, dan supremasi hukum. Keadilan dan kebaikan merupakan dua sisi mata uang yang harus ditegakkan bersama-sama. ( lihat Q S An-Nahl : 90 ).
 •                 
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
E. Al-Istiqamah artinya tegak, mantap, kesinambungan, dan kontinuitas. Prinsip al-istiqamah ini mendorong manusia untuk kukuh dalam memegang ketentuan Allah, Rasul-Nya, para salafus shalih, dan norma yang telah disepakati barsama. Prinsip al-istiqamah menumbuhkan kepercayaan atas adanya proses, adanya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan antara satu periode dengan periode yang lain, merupakan kesatuan yang saling menopang dan terkait. Al-istiqamah juga membawa sikap progresif dan anti kejumudan yang akan menjamin proses mencapai kemajuan peradaban. Q S Ar-Rum : 43 memberi ilustrasi :
          •       
Artinya:“oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang Lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya): pada hari itu mereka terpisah-pisah”.

K H Ahmad Shiddiq menjelaskan bahwa prinsip-prinsip tawasuth, tawazun, tasamuh, dan ta’addul (i’tidal) dalam tataran praktis dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut :
1. Akidah
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli
b. Memurnikan aqidah dari pengaruh luar Islam
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah, atau kafir
2. Syari’ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qu’an dan Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang tidak ada nash yang jelas (sharih / qath’i)
c. Dapat memerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi interpretatif (dhanni).
3. Tasawuf / ahlak
a. Tidak mencegah bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu
c. Berpedoman pada ahlak yang luhur. Misal sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadlu’ (antara sombong dan rendah diri), sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama
b. Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridlai Allah SWT
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
Dengan memahami uraian di atas ; mulai dari batasan, sejarah, mazhab, manhajul fikr, kaidah-kaidah, maupun mabadi’ khaira ummah, telah nampak kerangka bangunan paham aswaja, baik dalam kontek keagamaan, ekonomi, politik, sosial, budaya maupun lainnya. Adapun implementasi aswaja dan aktualisasinya, materi tersebut tentu belum mencukupi, dan masih perlu upaya pendalaman materi teologi, fiqh, dan tasawuf serta cabang-cabang ilmu terkait.
Literatur :
1. Aktualisasi Paham Aswaja, DR. KH Noer Iskandar Al-Barsani
2. Aswaja An-Nahdliyah, LTN NU Jatim
3. Aswaja, KH U Balukia Syakir
4. Aqidah Aswaja, Drs Tgk H Z A Syihab
5. Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Aswaja, DR. KH Noer Iskandar Al-Barsani
6. Hujjah NU (Aqidah-Amaliah-Tradisi), KH Muhyidin A
7. Islam Aswaja di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU
8. Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari Ttg Aswaja, A Muhibin Z
9. Konsep Dasar Pengertian Aswaja, KH Drs Achmad Masduqi