Monday, October 31, 2011

Peta Pendidikan Islam Di Indonesia

Peta Pendidikan Islam Di Indonesia PDF Cetak Surel
Kamis, 29 April 2010 02:38
ShareThis
Memenuhi permintaan Panitia Konggres Umat Islam Indonesia ke-5 agar saya membuat peta pendidikan Islam di Indonesia, terasa tidak mudah. Mestinya saya harus melengkapi tulisan dengan data lengkap. Padahal itu tidak mungkin saya dapatkan dalam waktu singkat, hanya beberapa hari. Sementara tugas itu harus saya tunaikan, apa pun jadinya. Oleh karena itu, saya mencoba membuat secara singkat, apa adanya, dan bersifat kualitatif.

Sebuah peta yang memberikan petunjuk secara jelas tentang apa yang akan dikembangkan adalah sangat penting. Tanpa peta yang jelas, maka tidak akan dapat merumuskan kebijakan strategis, pembuatan rencana yang tepat, apalagi memberikan arah, dan bahkan juga prediksi-prediksi yang jelas di masa mendatang. Selain itu, tanpa peta yang jelas, maka apa yang dilakukan hanya berjalan di tempat dan tanpa arah.

Ada banyak hal yang harus dipahami tentang peta pendidikan Islam di Indonesia, terutama terkait dengan makna pendidikan Islam itu sendiri, jenis kelembagaan, orientasi pengembangan, partisipasi masyarakat, dan masih banyak lagi lainnya. Namun, dalam waktu yang singkat dan terbatas ini, saya hanya akan mengajak peserta semiloka untuk membaca peta pendidikan Islam terkait dengan aspek-aspek tersebut.

PROBLEM PEMAKNAAN PENDIDIKAN ISLAM

Seperti halnya konsep pendidikan pada umumnya, konsep-konsep kependidikan Islam pun mengalami proses perubahan, pergeseran, dan dinamika, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, rekonseptualisasi pandangan dunia Islam mengenai segala sesuatu, dan kepentingan atau kebutuhan masyarakat muslim untuk mengejawantahkan keberagamaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini, jika kita perhatikan, pengertian pendidikan Islam mengalami pemaknaan yang dinamis dari waktu ke waktu. Selain itu, masing-masing pihak memaknai pendidikan Islam secara berbeda-beda. Implikasinya, atas dasar pemahaman itu, pendidikan Islam kemudian diimplementasikan secara berbeda-beda pula. Hanya kelebihannya, tidak sebagaimana dalam perbedaan masalah-masalah fiqh (ikhtilaf), perbedaan pemahaman dan pemkanaan pendidikan Islam tidak banyak menimbulkan sengketa dan konfrontasi. Dan, apa yang dipahami mengenai pendidikan Islam, itulah yang mereka jalankan, sehingga coraknya dapat berbeda-beda, sekaligus memperkaya perspektif pendidikan Islam.

Banyaknya perbedaan dalam pemaknaan menjadikan pendidikan Islam di negeri ini sangat variatif, ditambah banyaknya antusiame masyarakat untuk berpartisipasi mengembangkannya. Menghadapi besarnya semangat partisipasi masyarakat terhadap pengembangan pendidikan Islam tersebut, pemerintah justru mengalami kesulitan membatasinya. Umpama, ketika masyarakat diberi kebebasan, maka setiap waktu akan lahir lembaga pendidikan Islam baru untuk berbagai jenjang dan di berbagai tempat.

Sayangnya, semangat membangun lembaga pendidikan Islam sebatas pada tataran kuantitatif atau eksistensial, belum pada kesadaran kualitatif dan keunggulan. Pendidikan Islam dalam kasus-kasus tertentu hanya dipahami secara terbatas, bahkan hanya pada tingkat yang bersifat simbolik. Misalnya, yang dipentingkan ”bernama atau beridentitas Islam”, tanpa mempertimbangkan tuntutan bahwa identitas itu harus dikaitkan dengan taraf kualitas yang diharapkan oleh ajaran Islam, sebagaimana sering diungkapkan bahwa Islam ya’lu wa la yu’la ’alayhi (Islam itu adalah terunggul, dan tiada yang bisa mengungguli Islam).

Ada sementara kalangan memaknai pendidikan Islam dari aspek kelembagaannya, sehingga muncul beberapa kategori lembaga pendidikan, seperti pesantren, madrasah, dan sekolah yang diberi nama-nama yang bernuansa Islam, seperti pendidikan Islam Al-Azhar, Muhammadiyah, Ma’arif, Asy-Syafiiyah, Sabilillah, Istiqlal, dan seterusnya. Ada juga yang mengartikan pendidikan Islam dari segi muatan kurikulum yang dikembangkan, yakni yang disebut sebagai pendidikan Islam manakala diajarkan mata pelajaran-mata pelajaran berkarakteritik Islam, misalnya fiqh, tawhid atau kalam, akhlak dan tasawwuf, tarikh, dan bahasa Arab.

Masih terkait dengan pengertian pendidikan, muncul apa yang disebut dengan istilah ”pendidikan agama” dan ”pendidikan umum.” Selanjutnya, ada istilah ”guru agama” dan ”guru umum.” Guru yang mengajar fiqh, tawhid atau kalam, akhlak dan tasawwuf, tarikh, dan bahasa Arab disebut sebagai ”guru agama (Islam)”. Sedangkan guru yang mengajar matematika, IPA, IPS, dan bahasa disebut sebagai ”guru umum”.

Polarisasi pelajaran agama dan pelajaran umum, lalu ”guru agama” dan ”guru umum” seperti di atas, sejatinya kurang tepat penyebutan kategori ”umum” dan ”agama”, semestinya tidak terjadi. ”Umum” sebagai lawan kata dari ”khusus,” yang secara salah kaprah dikontraskan dengan ”agama.” Namun, itulah yang terjadi, sehingga di lembaga pendidikan Islam pun dan ”guru umum” mengimplikasikan adanya ”ilmu agama” dan ”ilmu umum.” Di lembaga pendidikan Muhammadiyah terdapat pelajaran atau matakuliah al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan. Begitu pula di lembaga pendidikian Islam Ma’arif, ada pelajaran atau matakuliah Keislaman dan Aswaja.

Kategorisasi seperti itu menjadikan makna dan kelembagaan pendidikan Islam terasa sempit. Pendidikan Islam hanya dimaknai secara terbatas, yaitu hanya terkait dengan persoalan-persoalan ritual dan spiritual. Dampak selanjutnya, seolah-olah Islam pun juga menjadi sempit, dan bahkan memaknai umat Islam pun juga secara terbatas pula. Islam kemudian dianggap mundur dan bahkan kalah. Cara pandang seperti ini ternyata berdampak luas, menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial, dan aspek-aspek lain yang lebih luas.

Akhir-akhir ini, pemaknaan kembali pendidikan Islam seperti itu, apalagi dengan adanya perubahan kelembagaan beberapa PTAIN, dari Sekolah Tinggi dan Institut menjadi bentuk Universitas, akan menjadi semakin mengemuka. Polarisasi ilmu umum dan ilmu agama sudah tidak relevan lagi dan mulai digugat. Mereka menampik adanya bentuk dikotomi ilmu dalam Islam. Semua ilmu adalah berasal dari Allah, sehingga tidak semestinya dilakukan polarisasi seperti di atas, antara ilmu agama dan ilmu umum.

Konsep baru yang ditawarkan selanjutnya adalah menyangkut sumber ilmu pengetahuan. Ada ilmu pengetahuan yang digali dari sumber ayat-ayat qawliyyah dan kawuniyyah sekaligus. Sementara yang lain hanya mendasarkan ayat-ayat kawniyyah, yaitu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis. Atas pembagian itu, maka kategorisasi ilmu pengetahuan bukan lagi dari jenisnya, melainkan dari sumber yang digunakan. Ilmu pengetahuan yang bersumberkan ayat-ayat qawliyyah sekaligus ayat-ayat kawniyyah, maka disebut sebagai ilmu pengetahuan Islam. Demikian pula lembaga penyelenggaranya disebut sebagai lembaga pendidikan Islam.

Perkembangan pemikiran seperti itu juga didasarkan pada rujukan yang kuat. Misalnya, al-Qur’an sendiri selalu disebut sebagai Kitab Suci yang bersifat universal. Maka, universalitasnya harus tercemin dalam isi kajian pendidikan Islam. Al-Qur’an dan Hadits tidak saja berisi petunjuk tentang bagaimana kaum muslimin melakukan penyembahan dan kegiatan ritual, apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh penganutnya, melainkan juga berisi tentang petunjuk (hudân), penjelas (bayân), dan pembeda (furqân) tentang alam semesta ini. Al-Qur’an juga memberikan penjelasan tentang alam dan manusia diciptakan, manusia dan perilakunya, isi jagat raya ini dan juga petunjuk tentang keselamatan.

Pengertian yang dinamis tentang Islam seperti itu juga berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pendidikan, baik menyangkut tujuan, orientasi, kurikulum, dan bahkan juga format kelembagaannya. Semangat beberapa lembaga pendidikan Islam, semisal STAIN dan IAIN berubah bentuk menjadi universitas, sesungguhnya tidak lepas dari dinamika pemahaman tentang Islam selama ini. Gejala seperti itu merupakan proses yang sangat menggembirakan dan menguntungkan bagi umat Islam ke depan.

KERAGAMAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM: PERLUNYA REGULASI

Variasi pendidikan Islam tidak saja terkait dengan isi atau kurikulum yang dikembangkan, melainkan juga menyangkut kelembagaannya. Lembaga pendidikan Islam sangat variatif, yaitu ada pesantren, diniyah, madrasah, dan sekolah dengan berbagai jenjang, mulai dari Raudatul Athfal atau Taman Kanak-kanak (RA/TK), Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar (MI/SD), Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama (MTs./SMP), Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas (MA/SMA), hingga Perguruan Tinggi. Berbagai jenis dan jenjang pendidikan Islam itu sebagian berstatus negeri dan sebagian lainnya berstatus swasta. Menurut informasi yang sering disampaikan oleh Kementerian Agama RI, bahwa lembaga pendidikan Islam di lingkungan Kementerian Agama hanya sekitar 8 % berstatus negeri, sedangkan lainnya berstatus swasta. Bahkan pesantren, 100 % dirintis dan dikelola oleh masyarakat, artinya seluruhnya berstatus swasta.

Hal yang menggembirakan, sekaligus juga jika tidak dikelola secara tepat akan sangat membebani adalah bahwa secara kuantitatif pertumbuhan lembaga pendidikan swasta selalu meningkat lebih cepat cepat. Semangat berpartisipasi atau mendirikan lembaga pendidikan di kalangan swasta sangat tinggi. Justru yang dirasakan berat bagi pemerintah, bukan mendorong partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan, melainkan justru mengeremnya, agar pertumbuhan itu tidak terlalu cepat. Atau, dengan kata lain, perlu regulasi yang jelas dan berperspektif ke depan yang jauh. Peraturan itu tentu saja mengungkapkan berbagai restriksi, namun, pembatasan-pembatasan itu oleh pemerintah dianggap perlu terkait dengan standar kualitas yang diharapkan dan disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang lebih strategis.

Peta persoalan yang banyak diperbincangkan terkait dengan kelembagaan pendidikan Islam, setidaknya ada dua, yaitu menyangkut pendidikan pesantren dan perubahan bentuk beberapa sekolah tinggi dan institute menjadi universitas. Atau setidaknya, menuntut agar lembaga pendidikan tinggi Islam, khususnya yang berstatus negeri, diberi peluang mengembangkan bidang keilmuan secara lebih luas. Tuntutan mereka setidaknya, STAIN atau IAIN diberi status wider mandate. Dengan status itu, maka STAIN atau IAIN diperbolehkan untuk mengembangkan program studi lebih luas, tidak saja sebagaimana selama ini hanya mengembangkan bidang tarbiyah, syariah, ushuluddin, dakwah dan adab.

Persoalan mendesak terkait dengan pesantren adalah menyangkut pengakuan. Pesantren Salaf dan Diniyah sudah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, atau sebelum sekolah modern lahir. Lembaga pendidikan pesantren tersebut telah melahirkan lulusan yang mampu melakukan peran-peran strategis di negeri ini. Para tokoh Islam, baik yang terjun di dunia politik maupun pendidikan, banyak yang sebenarnya berasal dari lulusan pesantren salaf. Beberapa tokoh besar seperti KH. Machrus Ali Lirboyo Kediri, KH Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH Syamsul Arifin Situbondo, KH. Maimun Zuber, KH Habib Luthfi Pekalongan, dan masih banyak lagi lainnya, mereka itu adalah alumni pesantren salaf. Namun sampai saat ini, lembaga pendidikan itu belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Lulusan pesantren salaf, sekalipun cakap,, belum bisa diterima misalnya ingin ikut mendaftar sebagai calon Kepala Desa, anggota DPR, dan apalagi menjadi PNS.

Dalam pertemuan atau halaqah para ulama yang baru saja diselenggarakan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang atas anjuran Menteri Agama, mendesak agar pemerintah segera memberikan pengakuan terhadap keberadaan pesantren itu dan mengakui ijazah yang dikeluarkan sebagaimana ijazah sekolah umum lainnya. Hambatan yang paling mendasar yang dihadapi oleh pemerintah tatkala akan memberikan pengakuan, bukan terletak pada peraturan dan perundang-undangan, melainkan pada persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh pesantren itu sendiri.

Pemerintah, dalam memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan selama ini, selalu menggunakan standard tertentu. Sementara pesantren salaf tidak mengembangkan atau bahkan tidak memiliki standard itu. Sekiranya pesantren dipahami sebagai lembaga pendidikan alternatif, dan memang tidak akan sama dengan pendidikan pada umumnya, sehingga standard untuk menilai pesantren salaf dirumuskan secara khas standard untuk pesantren, maka pengakuan pemerintah itu tidak akan mengalami hambatan. Selama ini pengakuan itu tidak bisa diberikan karena terbentur oleh standard yang digunakan. Sebagai lembaga pendidikan alternatif, mestinya pemerintah menetapkan standard yang khas untuk melihat lembaga pendidikan alternatif itu, yakni standard yang khusus untuk pesantren salaf.

Sedangkan persoalan perubahan bentuk dari STAIN atau IAIN menjadi universitas atau pemberian mandat yang lebih luas—wider mandate—kiranya perlu direspons secara memadai. Semangat perubahan itu sesungguhnya sejalan dengan semakin luas pemahaman masyarakat muslim terhadap Islam. Islam tidak saja dipandang sebagai agama, melainkan juga ilmu dan peradaban. Jika demikian, maka pembatasan sebagaimana keadaannya yang sekarang akan dirasakan sebagai belenggu yang harus dihilangkan. Hanya saja, respons itu harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki, sehingga tetap dapat menjaga kualitas produk yang dihasilkan.

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN: PERLUNYA RANCANGAN STRATEGIS

Tampak dengan jelas bahwa pengembangan pendidikan Islam selama ini hanya sampai pada tataran alamiah. Pengembangan pendidikan Islam belum didasarkan pada perencanaan yang menyeluruh dan komprehensif. Kebijakan yang selama ini muncul dari pemerintah hanyalah berupa rambu-rambu aturan main pendirian lembaga dan pengawasannya agar tidak merugikan masyarakat.

Pemerintah hanya membuat peraturan kapan lembaga pendidikan dapat didirikan dan apa saja syarat minimal yang harus dipenuhi. Peraturan itu juga hanya menyangkut lembaga pendidikan formal, baik yang diprakarsai oleh masyarakat maupun yang dikembangkan sendiri oleh pemerintah, yang disebut sebagai lembaga pendidikan yang berstatus negeri.

Selama ini, pemerintah belum memiliki rencana yang berskala besar dan menyeluruh tentang pengembangan pendidikan Islam. Jika diumpamakan negeri ini sebagai sebuah kebun, dan kebun itu akan ditanami berbagai jenis tanaman berupa lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi; kenyataannya, hingga saat ini belum ada rancangan yang sistematik tentang tanaman itu. Katakanlah, misalnya, jika akan dikembangkan bentuk Universitas Islam Negeri (UIN), maka pada daerah mana yang akan diberi prioritas, ternyata gambaran itu belum tersedia. Semua tumbuh secara alamiah dari bawah. Pemerintah hanya bertindak sebatas merestui setelah syarat-syarat itu dipenuhi, dan bahkan jika datang desakan yang lebih kuat dari pemerintah daerah atau kekuatan lainnya.

Pertumbuhan semacam itu, selain berakibat tidak ada jaminan terhadap kualitas yang akan dihasilkan, juga keberadaannya tidak merata. Lembaga pendidikan, termasuk pendidikan tinggi Islam, hanya menyentuh aspek eksistensialnya dan belum pada tingkat kualitasnya. Sebagai akibatnya, pertumbuhan lembaga pendidikan Islam secara kuantitatif sangat cepat; namun, belum diikuti gerakan untuk meningkatkan kualitasnya. Itulah yang saya sebut sebagai buah dari kesadaran eksistensial itu.

Tidak meratanya lembaga pendidikan tinggi, sebagai akibat pertumbuhan dari bawah, juga terlihat sangat jelas. Tatkala IAIN masih berjumlah 14 buah, maka kelihatan sekali ketidak-merataan itu. Dari 14 buah IAIN di Indonesia pada waktu lalu, sebarannya ada 7 buah di pulau Sumatera, 5 buah IAIN di pulau Jawa, dan sisanya, satu di Kalimantan dan satu lagi di Sulawesi. Pertumbuhan itu sangat padat di wilayah barat, dan semakin ke timur semakin sedikit, bahkan tidak tumbuh. Keadaan ini persis seperti seorang petani tradisional, tatkala menanam sesuatu tidak merata hanya disesuaikan dengan selera dan bukan atas dasar kebutuhan riilnya.

Menyadari hal itu, kiranya sudah waktunya tanaman itu disebar lebih merata lagi, dan sudah pasti memerlukan menciptakan rancangan besar dan strategis di tingkat nasional. STAIN, IAIN, dan UIN diorientasikan ke wilayah bagian timur yang selama ini pertumbuhannya sangat lamban, tanpa mengabaikan di daerah lain, mengimbangi kepadatan di wilayah barat, yang sudah dirintis sebelumnya. Dengan berpikir seperti itu, maka kebun yang sedemikian luas, terbentang dari Sabang hingga Merauke, semua tertanami dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam, sesuai dengan kebutuhannya.

Selanjutnya, jika rencana besar tersebut berhasil diwujudkan, pemerintah, dengan anggaran pendidikan yang semakin stabil, maka kebijakan yang dirumuskan akan lebih strategis dan hasilnya akan lebih nyata. Selain itu, pemerintah tidak hanya sibuk mempertimbangkan perlu dan tidaknya usulan pendirian lembaga pendidikan yang didasarkan pertimbangan sesaat, melainkan semua kebijakan didasarkan atas perencanaan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif. Akhirnya, bukan pemerintah yang menyesuaikan dengan aspirasi masyarakat, melainkan sebaliknya, masyarakat menyesuaikan rancangan besar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Agama, sehingga orientasi pertumbuhan lembaga pendidikan tidak bersifat alamiah lagi.

Ke depan, dengan orientasi seperti itu, pengembangan pendidikan Islam didasarkan pada perencanaan yang jelas dan kuat. Sebaliknya, bukan lagi dikembangkan atas dasar kebijakan-kebijakan sesaat, dan juga desakan-desakan atau tekanan-tekanan dari berbagai pihak. Akhir-akhir ini, banyak kalangan merasa pemerintah tidak memiliki garis kebijakan yang mantap, hingga produk-produknya sebatas mengikuti selera yang tidak berdasarkan pada filosofi yang mantap pula. Sebagai akibatnya, tidak sedikit program-program yang mandek dan akhirnya seperti hanya berjalan di tempat.

PARTISIPASI MASYARAKAT: PERLUNYA DUKUNGAN PEMERINTAH

Cukup lama muncul isu, yang mengatakan bahwa selama ini pemerintah tidak mempedulikan lembaga pendidikan swasta yang berada di bawah Kementerian Agama. Pemerintah hanya mempedulikan lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Isu tersebut sepintas sepertinya benar. Namun, jika dicermati secara saksama, yang terjadi adalah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dalam kurun waktu yang cukup lama tidak memiliki dana yang cukup memadai untuk membiayai lembaga pendidikan yang berada di bawah wewenangnya. Dalam waktu sekian lama, anggaran kementerian agama selalu berada diujung paling belakang.

Belakangan, perkembangan mulai beranjak lebih positif, sejak zaman reformasi, dan anggaran untuk pendidikan meningkat, tidak terkecuali pendidikan yang berada di bawah pembinaan Kementerian Agama, maka anggaran untuk pendidikan Islam mengalami kenaikan drastis. Sebelumnya, tidak saja lembaga pendidikan swasta yang kurang mendapatkan perhatian, akan tetapi juga lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Hal itu bisa dilihat dari anggaran masing-masing IAIN dan STAIN di seluruh tanah air ini, keadaannya sangat memprihatinkan.

Sedemikian kecilnya anggaran yang diperuntukkan bagi lembaga pendidikan Islam, hingga kemudian muncul sinyalemen yang menatakan bahwa anggaran perguruan tinggi Islam di seluruh tanah air, masih lebih rendah bilamana dibandingkan dengan anggaran yang diperuntukkan bagi pengelolaan perpustakaan Universitas Gajah Mada atau anggaran pendidikan IKIP Rawamangun Jakarta. Kebijakan yang amat diskriminatif inilah sesungguhnya yang menjadikan lembaga pendidikan Islam, baik negeri maupun swasta, tertinggal jauh dibanding dengan lembaga pendidikan lain, khususnya yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.

Gambaran seperti itu perlu diungkap agar ke depan tidak terjadi kesalahan yang sama, yang akan berakibat buruk atau setidak-tidaknya merugikan pengembangan pendidikan Islam secara keseluruhan. Kiranya pemberian perhatian pemerintah terhadap semua

0 comments:

Post a Comment